The Imaginarium of Ostenrik
Mekanisme batin visioner seni Teguh Ostenrik, sosok yang mewakili sebuah anomali dalam kancah seni di Indonesia yang melakukan hal-hal “gila”.
Teguh Ostenrik bisa dibilang merupakan sosok yang mewakili sebuah anomali dalam kancah seni di Indonesia. Sebagai seorang seniman, ia melakukan hal-hal “gila” yang tak pernah terpikirkan sebelumnya di benak orang lain. Meskipun berjiwa pemberontak yang menentang kemapanan, ia terlebih dahulu menguasai dasar-dasar konvensional sebelum beranjak ke level berikutnya, dengan memadukan, menciptakan serta mentransformasikan bentuk dan teknik baru ke dalam sebuah bahasa yang, kini, sepenuhnya miliknya.
Karakternya yang unik, disertai pengalaman dan perspektif tradisional sekaligus global, telah memuluskan jalannya dalam memandang manusia. Filsuf Toeti N. Roosseno dan Franz Magnis-Suseno mendeskripsikan dirinya sebagai seorang pengembara dalam metafisika yang membuka ruang dan alam kebebasan baru — sebuah gambaran yang sempurna untuk Teguh Ostenrik dan karya-karyanya selama empat dekade terakhir.
Lahir di Jakarta pada tahun 1950, ia meninggalkan pendidikan medis yang telah berjalan selama dua tahun di Universitas Trisakti, Jakarta. Kala itu, ia baru berusia 20 tahun. Profesor di kampus menanggapi keinginannya menjadi seorang seniman dengan cemoohan, “Kamu akan menjadi seniman yang hebat”. Ironisnya, sindiran ini menjadi kenyataan.
Ostenrik memilih untuk pergi ke Jerman dan mempelajari seni, karena terkesan oleh sebuah lukisan karya Matthias Grünewald yang ia lihat di Goethe-Institut Jakarta. Grünewald (sekitar 1470 – 31 Agustus 1528) adalah pelukis Renaissance asal Jerman dengan karya-karya religius yang mengabaikan klasisisme Renaissance demi melanjutkan gaya ekspresif dan intens dari kesenian Eropa Tengah di akhir abad pertengahan. Di Jerman, Ostenrik harus bekerja secara serabutan demi memperoleh penghasilan dan masuk ke sekolah seni. Setelah dua tahun, tepatnya pada tahun 1972, ia telah mengumpulkan uang yang cukup untuk mendaftar ke jurusan desain grafis di sebuah universitas. Pada tahun 1974, ia pindah ke Hochschule der Kunst Berlin dan, enam tahun kemudian, menerima gelar ‘Meisterschuler’.
Saat Ostenrik kembali ke Indonesia pada tahun 1988, setelah menetap selama 16 tahun di Berlin, ia membawa sudut pandang baru terhadap seni, yang ia bagikan melalui banyak karya dan pameran. Akan tetapi, ia tampaknya masih berada terlalu jauh di depan untuk dunia seni Indonesia pada masa itu. Kala mereka masih terjebak dalam isu-isu identitas nasional, Teguh Ostenrik telah melaju ke depan dan menciptakan berbagai kreasi yang dapat disejajarkan dengan karya-karya yang dibawakan oleh kurator Okwui Enwezor untuk pameran internasional seperti Documenta dan Venice Biennale.
Mengadopsi kebudayaan dunia dari masa lampau dan masa kini, Ostenrik menciptakan karya serial berjudul ‘Homo Sapiens’ pada akhir tahun 1980-an. Selain menggunakan warna Mother Earth bernuansa oker dan merah sebagai representasi khas zaman kuno, karya ini juga menampilkan sentuhan masyarakat Maya di Meksiko, dengan kesakralan dan unsur mistik yang mungkin memiliki banyak kesamaan dengan suku Toraja di Sulawesi Selatan dan Asmat di Papua. Sementara itu, karakteristik naratifnya membuka batasan antarbudaya dengan mengombinasikan cara bercerita gaya lama dari Barat, yang disebut Muritat, dengan kesenian asal Jawa yang nyaris punah, yakni Wayang Beber.
‘Homo Sapiens Bertopeng’, karya serial yang merupakan sebuah momentum penting dalam perjalanan artistiknya, dirancang berdasarkan observasi Ostenrik di Berlin U-Bahn. Di situ, ia memiliki banyak kesempatan untuk mengamati perubahan ekspresi wajah para penumpang kereta pada waktu yang bervariasi dalam sehari. “Di dalam U-Bahn, orang-orang duduk berhadapan satu sama lain,” ia menjelaskan. “Ekspresi wajah saat pagi hari berbeda dengan di sore hari. Seperti berganti topeng yang seakan-akan telah menjadi sebuah karakteristik alami, namun sesungguhnya menyembunyikan realitas jiwa mereka.”
Ostenrik menarik banyak perhatian – meski tak banyak yang positif – saat ia menghadirkan inovasi melalui instalasi ‘Alam Bawah Air’ yang mengundang publik untuk, secara fisik, masuk dan mendapatkan pengalaman seni. Kali ini, ia menciptakan sebuah ruang gelap, dengan satu- satunya cahaya berasal dari lukisan-lukisan kreasinya yang menggambarkan gerombolan ikan serta makhluk bawah air lainnya. Instalasi ini merupakan simulasi dari pengalamannya menyelam di Lombok. Ketika para pengunjung meraba-raba untuk mencari jalan dalam kegelapan, mereka seolah-olah sedang berenang di laut dalam sembari menikmati keajaiban alam.
‘Alam Bawah Air’ diikuti oleh instalasi kedua yang menampilkan sebuah kanvas berukuran 9 m x 1.89 m di ruang gelap. Di sini, banyak pengunjung dikejutkan oleh topeng-topeng bercat di atas kanvas yang tampak seperti hidup. Beberapa di antaranya bahkan memperoleh dorongan dari kilas pengakuan diri di tengah sensasi prasejarah dan kekuatan kosmis. Duta Besar Italia waktu itu terkesan dan mengatakan: “Ini bisa jadi merupakan sebuah versi cetak dari karya seni Kristen, ‘The Last Judgment’. [Karya] ini bisa saja digantung di sebuah gereja.” Seorang wanita Jerman menuturkan, “Saya ingin berbaring sendirian di atas bantal dan memandanginya sambil tenggelam dalam musik, cahaya dan kegelapan.”
Banyak orang yang mencela dan menganggap instalasi ini hanyalah sebuah aksi publikasi. Namun mereka tidak menyadari bahwa karya ini adalah awal dari sebuah genre baru dalam seni kontemporer Indonesia. Sebelumnya, dunia seni Indonesia belum pernah menyaksikan perpaduan interdisipliner dalam satu karya seni, seperti lukisan yang didukung oleh seni patung, musik dan pertunjukan.
Pencarian konstan Ostenrik akan kebenaran dan keadilan menjadikannya seorang pemberontak intelektual. Bentuk figuratif bergaya arkais yang ia gunakan dalam ‘Homo Sapiens Bertopeng’, misalnya, merupakan tahap paling awal dari pemberontakan sang seniman untuk menentang ajaran anatomi. Walau demikian, pemberontakannya selalu didasari oleh pengetahuan dan penguasaan teguh terhadap hal-hal yang ia anggap esensial dalam berkreasi. ‘Homo Sapiens’, simbol dari jiwa manusia, telah menjadi cahaya penuntun yang mengiluminasi semua karyanya. Seperti yang dinyatakan oleh Franz Magnis-Suseno sekitar 40 tahun silam, Ostenrik memperjuangkan hal-hal yang nyata dan benar.
Ketika ia memperkenalkan seni dari potongan logam bekas, misalnya, seorang pemilik galeri menyarankan agar ia menambahkan cat pada patung-patungnya. “Ini tentunya akan menarik pembeli,” ujarnya untuk meyakinkan sang seniman. Ostenrik tidak menyukai ide tersebut dan, saatitu juga, mengatakan kepada pemilik galeri untuk melupakannya. Kemudian ia menyelenggarakan acaranya di Gedung Arsip Nasional dengan tajuk ‘deFACEment’. Di tengah bisnis seni berorientasi pasar, ia dengan mutlak menyatakan: “Saya tidak membuat karya seni untuk hidup, tetapi saya hidup untuk membuat karya seni.” Pada akhirnya, karya- karya Ostenrik memikat imajinasi para kolektor yang memahami bahwa keindahan tidak hanya ada pada sesuatu yang halus dan berkilau, melainkan terdapat pada makna kehidupan yang diungkapkan dalam berbagai manifestasi yang berbeda.
Limbah logam biasanya dibuang karena dianggap tak bernilai. Namun Ostenrik memberikan “hidup baru” dengan memanfaatkannya sebagai material untuk seni patungnya yang ekspresif, dan karena itu, ia pun berkontribusi dalam solusi bagi masalah lingkungan hidup. Proyek lain yang hampir serupa adalah ‘Plastic Waste Pyramid’. Ia membangunnya di Munduk, Bali, dengan bata yang terbuat dari kantong plastik yang dicairkan. Melalui pemberian fungsi dan identitas baru terhadap kantong plastik, struktur karya ini turut menyimbolkan kesadaran ekologi yang berkembang di kalangan masyarakat Munduk dan sekitarnya.
Jika ‘Homo Sapiens’ adalah momentum kritis dalam perjalanan artistiknya, ‘deFACEment’ melambangkan hubungan berkelanjutan Ostenrik dengan Homo sapiens. Ia menyatukan potongan- potongan logam melalui pengelasan, dan mentransformasikannya menjadi seni patung yang mengekspresikan kehidupan manusia ketika berevolusi dalam berbagai situasi. Pada pandangan pertama, mereka yang terbiasa dengan seni patung klasik dan konvensional cenderung terkejut. Namun setelah menginvestigasi lebih dekat, mereka mulai menyadari bahwa ini adalah awal dari sebuah genre lain dalam seni kontemporer di Indonesia.
Banyak penemuan lain dari Ostenrik, meliputi seni patung perunggu yang terbuat dari lempengan, sehingga memberikan impresi figur atau makhluk perunggu yang baru saja ditarik keluar dari tanah. Saat ia mengembarai dunia dan memetik pengaruh dari para master ekspresionisme abstrak dan atmosfer negara-negara yang ia kunjungi, ia juga bereksperimen dengan lukisan, patung, instalasi seni, video dan beragam bentuk seni lainnya, serta memadukan, mentransformasikan dan menciptakan sesuatu yang baru, selagi tenggelam dalam dirinya sendiri dan budaya-budaya di dunia. Pada akhirnya, ia telah memperoleh sebuah gaya yang sepenuhnya miliknya. Namun, selama ini, dalam menggeluti hasrat artistiknya, ia tidak pernah kehilangan pandangan akan cahaya penuntunnya: Homo sapiens, alias dimensi manusia.
Awal tahun 2015, Teguh Ostenrik memulai sebuah proyek yang menyuarakan keprihatinan terhadap alam dan kondisi manusia. Melalui kombinasi potongan logam dan teknologi elektronik yang disebut Biorock, ia menciptakan sebuah instalasi berjudul ‘Domus Sepiae’, untuk mendukung revitalisasi terumbu karang yang berada di ambang kepunahan. Proyek ini dikenal pula dengan nama ARTificial Reef Park. Indonesia memang dikenal memiliki keanekaragaman hayati terumbu karang yang terbesar di dunia. Namun, kini hanya sejumlah enam persen yang masih dalam kondisi murni. Sisanya telah hancur atau rusak akibat pemancingan berlebihan dan menggunakan dinamit, polusi, serta faktor-faktor lain. Ketika diundang ke Qunci Villas di Lombok, Ostenrik mengajukan usul untuk meneliti kemungkinan dilakukannya revitalisasi terumbu karang di sekitar Pantai Senggigi melalui seni. “Daripada hanya membuat karya untuk mendekorasi dinding, saya ingin karya seni saya membantu pemulihan batu-batu karang yang merupakan habitat ikan-ikan serta banyak spesies lainnya, dan mata pencaharian masyarakat pun bergantung kepada mereka,” ujarnya.
Dengan menciptakan seni patung logam “elektrik” melalui proses ilmiah nan revolusioner, yang mengubah mineral yang larut dalam air laut menjadi Biorock atau Seament, Ostenrik ingin menghidupkan kembali terumbu karang yang rusak di sekitar Senggigi, dan mengembalikan sebuah dunia menakjubkan. Kenangan akan dunia tersebut telah ia jaga melalui instalasi ‘Alam Bawah Air’ yang ia buat di awal tahun 90-an. Pada masa-masa itu, ia sering menyelam di sana. Namun saat kembali ke lokasi itu setelah absen selama beberapa tahun, ia menemukan bahwa dunia yang ada dalam ingatannya kini telah menjadi sebuah gurun tandus.
‘Domus Sepiae’, bagian dari ARTificial Reef Park, adalah struktur yang menyerupai labirin dan tampak seperti mendorong tentakelnya di bawah massa air. Penampilannya yang terlihat ringan sepenuhnya bersifat menipu, karena setiap 16 modul dari pelat besi setebal enam milimeter, yang berukuran 130 x 140 sentimeter, memiliki berat 200 kilogram. “Saya membuat lubang-lubang pada pelat tebal sebagai bentuk pertahanan terhadap arus kencang dan memungkinkan ikan untuk bermain-main atau bersembunyi dari predator,” ujar Ostenrik. “Tiang-tiangnya pun terhubung satu sama lain supaya mampu berdiri kokoh. Biorock yang dialiri arus listrik melajukan pertumbuhan terumbu karang enam kali lebih cepat daripada pertumbuhan normal.”
Proyek yang diluncurkan pada bulan Mei 2014 ini merupakan hasil kolaborasi dengan Lombok Hotel Association (LHA) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, serta didukung oleh Gili Eco Trust dan P.T. Contained Energy. Saat ini terletak kurang lebih di sekitar pertengahan Pantai Senggigi, dan rencananya akan diperluas hingga mencakupi keseluruhan panjang pantai. “Saya tidak membuat karya seni untuk hidup, tapi saya hidup untuk membuat karya seni”. — Teguh Ostenrik
Teguh Ostenrik, yang secara pribadi mengumpulkan 1.6 ton potongan logam untuk membuat karya seni patung, mengatakan bahwa ia ingin mendorong seniman- seniman lain untuk mengikuti langkahnya, karena terumbu karang sangat membutuhkan revitalisasi. Ia memimpikan sebuah galeri seni patung di bawah air yang tidak hanya mendatangkan kembali ikan, cumi-cumi dan lobster yang melimpah, tetapi juga menjadi atraksi utama untuk wisatawan serta menghasilkan pendapatan bagi masyarakat Lombok. Kini, ikan-ikan telah muncul di tengah karang-karang yang tumbuh pada karya seni patungnya, dan aktivitas memancing serta sumber pendapatan lain di sekitar Senggigi dapat menikmati buah dari prakarsa seni tersebut. Namun, Ostenrik mengingatkan kita bahwa masih banyak yang perlu dilakukan. Terumbu karang adalah penjaga ekosistem, dan 120 juta orang bergantung kepada terumbu karang sebagai mata pencaharian mereka (jumlah ini mendekati setengah dari total populasi di Indonesia). Dan, pencarian tanpa akhir pun terus berlanjut…
Artikel ini pernah dipublikasikan di ART REPUBLIK Indonesia.
Teks oleh Carla Bianpoen.