Tag Archives: ART REPUBLIK

Lukisan Justian Jafin Adalah Cermin Masyarakat yang Mendorong Perubahan

 

“Poetic Society”, 130x180cm, Acrylic, Decorfin Relief Paint on Linen, 2016-2018.

 

Masalah yang mengganggu masyarakat memiliki banyak lapisan jika dilihat melalui lensa yang berbeda dari pengalaman pribadi masing-masing individu. Karya-karya seniman Indonesia Justian Jafin merupakan emulasi visual dari perspektif multidimensi yang berusaha mengungkit isu-isu kemasyarakatan melalui tumpang tindih unsur-unsurnya dengan cara yang hampir mirip kolase. Dengan setiap subjek mengintip dari bawah yang dominan di atas, kita terpaksa menyaring kekacauan dan mengidentifikasi apa yang paling penting dalam setiap konflik.

Lukisan Justian Jafin Adalah Cermin Masyarakat yang Mendorong Perubahan

“Society of spectacle in the gold landscape”, Acrylic and decorfin relief paint on Canvas, 600x300cm, 2015-2016. Exhibition Manifesto 6.0 Multipolar at National Gallery of Indonesia 2018

Seperti apa seni bagi Anda di tahun-tahun awal berkarya?

Saya lahir dari orang tua seniman pada tahun 1987, jadi saya segera terlempar ke ujung kolam pepatah itu. Dari menghadiri pembukaan pameran hingga berdiskusi secara rutin dengan orang tua dan teman-teman mereka, saya dengan cepat mengenal cara-cara artistik sejak usia dini. Ini menjadi fondasi saya yang meluluskan saya melalui sekolah menengah atas di SMSR Surabaya dan kemudian, pendidikan saya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sejak saya kuliah, kedalaman pemikiran saya meningkat sebanding dengan kesadaran dan pemahaman saya tentang seni. Seniman mungkin saja memproduksi materi yang nyata untuk dijual di pasar terbuka, namun saya adalah orang yang percaya pada nilai seni untuk melampaui fisiknya dan kontribusinya sebagai wacana untuk meredakan konflik. Saya berani mengatakan bahwa saya sangat siap untuk menjadi seniman profesional seperti sekarang ini.

 

 

Apa pemikiran dan ide yang masuk ke dalam karya seni Anda?

Konsep dalam karya saya sebagian besar didasarkan pada pengalaman empiris saya atau komunitas di sekitar saya. Saya menggunakan seni sebagai media untuk mengatasi masalah umum dalam masyarakat dan memperluasnya sebagai dorongan bagi penikmat karya saya untuk mengembangkan resolusi potensial untuk masalah ini. Meskipun mungkin dihormati karena keindahan dan kemampuannya dalam menghadirkan kegembiraan dan hiburan kepada massa, saya melihat melampaui kedangkalan yang fana ini dan prospeknya sebagai wadah pendidikan dan penyebaran informasi.

Sementara estetika visual mungkin mengambil bagian belakang dari konsep-konsep dalam karya saya, saya selalu menjaga keduanya saling terkait satu sama lain, di mana gaya yang saya putuskan melengkapi ide yang saya munculkan dalam sebuah karya. Sejauh ini, gaya lukisan saya melibatkan pembuatan lapisan yang tumpang tindih yang menutupi dan menyingkap keragaman subjek dalam karya, menghasilkan komposisi yang menyerupai kolase. Dengan cara ini, publik perlu mengamati dengan saksama saat sebuah cerita terungkap di depan mata mereka, mengarahkan fokus mereka pada peran mereka dalam berkontribusi pada masyarakat dan semoga memberdayakan mereka untuk membawa perubahan.

 

 

Selain masalah sosial, bagaimana Anda memposisikan seni Anda untuk mendorong industri seni Indonesia semakin menjadi sorotan?

Seni dan tindakan berkreasi selalu menjadi bagian dari budaya Indonesia. Ketika kita memikirkan seni Indonesia, nama-nama besar seperti Raden Saleh dan Affandi muncul di pikiran, dan tempat-tempat seperti Ubud atau Batuan bahkan memiliki gaya seni yang dinamai menurut namanya. Orang-orang dari semua lapisan masyarakat dan dari jauh dan luas berkumpul di Indonesia untuk menikmati iklim artistik yang kaya, jadi kita tentu akan melihat fenomena “Boom” di mana akan ada peningkatan permintaan seni dari daerah tersebut setiap 7 hingga 10 tahun. Indonesia mengalami “Boom” ini pada tahun 2008, dan sejak itu, permintaan akan seni menurun secara perlahan di tahun-tahun setelahnya. Menurut saya, pasar seni lokal seharusnya tidak terlalu bergantung pada periode puncak ini untuk mendorong lebih banyak karya ke ruang publik. Sebaliknya, saya bermaksud menggunakan karya seni saya untuk membawa publik ke ruang kreatif untuk menunjukkan kepada mereka bahwa seni, pada kenyataannya, sepenuhnya terkait dengan cara hidup setiap orang, dan bahwa tidak boleh ada batasan di antara keduanya. Perpaduan seni dan masyarakat merupakan aspek penting untuk saling memperkuat peran keduanya. Inilah mengapa saya memilih untuk menggunakan lukisan saya untuk mengangkat topik sosial dan politik yang sulit tersingkap.

 

Apa rencana mendatang di pameran seni Anda?

Saat ini saya menggelar pameran tunggal pertama saya dengan CG Art Space dan karya saya dipamerkan di Art Jakarta pada Desember 2020. Di tahun berikutnya juga akan ada presentasi kedua di galeri yang sama, dimana penonton yang hadir akan didorong untuk menginterpretasikan dan merespon karya yang dipamerkan.

Saksikan sekilas karya seni Justian Jafin yang bermuatan sosial melalui Instagram-nya (@justianjafinw).

Info kontak:

Justian Jafin dapat dihubungi melalui Instagram dan [email protected]

CG Art Space Gallery yang menampilkan karya Justian Jafin dapat dihubungi melalui Instagram atau [email protected].

Artikel ini bersumber dari: “Justian Jafin’s Paintings Are Mirrors of Society Promoting Change”.

luxuo-id-glowing-woman-in-red-landscape

Seniman Elling Reitan: Sentuhan Norwegia

luxuo-id-glowing-woman-in-red-landscape

Elling Reitan adalah salah satu multi-seniman kontemporer paling terkenal di Norwegia. Karyanya termasuk lukisan, lukisan cat warna, lukisan arang, lithograf, goresan berwarna, karya kaca dan banyak lagi. Seringkali dijuluki sebagai ‘seniman dengan warna indah’, karyanya termasuk sebuah kolase warna cerah, motif dan gambar menjadi satu dalam komposisi yang mengugah.

luxuo-id-img_6394225

Terlahir di Trondheim pada 1949, Reitan melakukan debut pertamanya pada eksibisi berjuri di Kunstforening Trondheim pada usia 30. Ia menjadi murid seorang pelukis figuratif Norwegia Odd Nerdrum dan seniman Bjørn Sverrbo, dan terbangun dibawah bimbingan Jens Johannessen. Banyak dari gaya Johannessen, terutama penggunaan motif yang memikat dapat diobservasi pada karya-karya Reitan. Bahkan, Reitan menggunakan motif kupu-kupu di banyak karyanya untuk menghormati mentornya. Motif tersebut dapat terlihat mengembangkan sayapnya dari tubuh wanita di lukisan, yang ia deskripsikan sebagai “gambar dalam gambar”.

luxuo-id-mother-earth

Disamping mentor dan gurunya, Reitan mendapat pengaruh dari serangkaian pelukis klasikal dan teknik lama. Edvard Much dan motif religius Abad Pertengahan dalam warna kuat adalah sebagian dari kunci inspirasi yang tampak di karyanya. Ia juga seringkali menggunakan figure Madonna, yang adalah “Ibu dari semua wanita”, dalam karyanya. Mengambarkan wanita sebagai makhluk spiritual memantik ketertarikan seniman tersebut. Tema berulang lainnya adalah kerinduan pria dalam ruang dan waktu.

luxuo-id-img_639727

Banyak proses artistiknya beralur di sekitar refleksi kondisi dunia saat ini, dan karyanya diciptakan secara sengaja dengan beberapa lapisan dan perspektif. Pernyataan artistiknya juga menyebutkan bahwa ia tidak memiliki pesan tertentu melalui lukisannya, dan sebaliknya mengundang orang-orang untuk mencari makna bagi mereka sendiri dan mencari apa yang mereka dapatkan. Ia mendeskripsikan dunia saat ini sebagai “kejam” dan “sibuk”, dan kemudian menciptakan karya-karya ini sebagai respons akan kebutuhan kita untuk berefleksi dalam. Penggambaran kekacauan dan masalah, namun kecantikan dan keajaiban dalam kekacauan tersebut terlihat dari percampuran warna celah, garis dan tekstur.

luxuo-id-red-horizon

Sebagai tambahan, Reitan memiliki ciri khas dalam setiap karyanya: simbol Yin & Yang. Ia menyebutnya sebagai “pasangan hitam dan putih yang selalu berada dalam lukisannya.” Pasangan tersebut dalam hitam dan putih digunakan pertama kalinya pada 1983 untuk menciptakan kedalaman dalam lukisannya. Berasal dari filosofi Cina, salah satu pengaruh besar dalam karyanya, tetes air hitam dan putih menyatu untuk membentuk lingkaran sempurna. Mungkin ini adalah cara ia menambah elemen keseimbangan dalam teka-teki berwarna lukisannya. Saat ini pasangan sapuan tersebut telah menemukan lokasi naturalnya dalam seluruh karyanya dalam posisi sama rata sebagai ciri khas seniman tersebut.

luxuo-id-song-for-a-madona-oil

Hingga hari ini, sang seniman telah berpartisipasi pada lebih dari 150 eksibisi solo dan grup di Norwegia dan internasional, termasuk pameran terkenal seperti Los Angeles Art fair, Miami Art fair, juga the Asia Contemporary Art Fair di Hong Kong dan Shanghai Art Fair. Reitan saat ini dipresentasikan oleh Ashok Jain Gallery di New York, yang akan menunjukkan karya seniman dalam pertunjukan solo di booth mereka (#328) di Art Concept Miami 2016.

luxuo-id-the-unbearable-lightness-of-being

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Ashok Jain Gallery.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Art Republik.

Cerita ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris. Baca di sini: Artist Elling Reitan: Norwegian Touch 

 

luxuo-id-evil

Eksibisi Mojoko Psycho Tropics, Singapura

luxuo-id-evil

The General Co akan menghadirkan – hingga 20 November 2016 di The Refinery, Singapura, ‘Psycho Tropics’ – sebuah pertunjukan seni baru oleh seniman visual berbasis Singapura, Mojoko, menampilkan lebih dari 20 karya baru. Dalam kolaborasi dengan Brilliant Prints, sang seniman telah menciptakan sebuah seri edisi berwarna yang akan tersedia dalam berbagai material seperti kanvas berformat besar dan simpanan hasil cetak kertas.

“Seri terbaru Mojoko adalah sebuah ledakan warna terinspirasi dari kegilaan masa modern yang dialami melalui hidup di iklim tropis Asia Tenggara. Karya seninya terinspirasi dari masa lampau, masa kini dan masa depan Singapura, memuntir dan mencampur gambar-gambar menjadi sebuah penyatuan budaya pop dari dunia hiper-sensorial teknologi, media, traffic, dan overpopulasi.”

Terlahir di Iran dan dibesarkan di Hong Kong, reputasi Mojoko yang terlatih di Fabrica adalah sangat mapan di jalanan dan dunia seni kontemporer. Setelah pertunjukan di museum, galeri, dan festival di sekeliling dunia, karyanya meliputi media baru, pahatan, screen printing dan kurasi. Ia menjadi salah satu pemilik Kult Gallery, dan menerbitkan majalah kuartal gratis kult magazine.

mojoko.net

Cerita ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris. Baca di sini: Mojoko Psycho Tropics Exhibition, Singapore 

luxuo-id-mn_e_12-001-l

Unsur Sebagai Bahan: Manish Nai

luxuo-id-mn_e_12-001-l

Datang dari keluarga pedagang tekstil, seniman India Manish Nai bertumbuh di sekitar desain dan tekstur. Terlahir di 1980 di Gujarat, India, dia adalah lulusan Drawing and Painting dari L. S. Raheja School of Art di Mumbai. Prudential Eye Awards diadakan di Singapura menamai ia sebagai salah satu seniman baru terbaik di Asia. Terkenal utamanya sebagai seorang pengukir, Nai menggunakan variasi media untuk membentuk komposisinya, terdiri dari kebanyakan material organis.

Pada awal tahun 2000, Nai mengksploitasi kesempatan yang diberikan dari sisa-sisa rami dari bisnis keluarganya, serat tumbuhan yang banyak digunakan di India untuk pakaian, untuk membuat karyanya. Ia memadatkan raminya dan karton untuk membentuk bahan mentah dari patungnya. Selaras dengan struktur kayunya, padatan patungnya membentuk diantara bidang dua atau tiga dimensi.

Eksibisi terbarunya dengan galeri Perancis Galerie Karsten Greve, berjudul ‘Matter as Medium’, dibuka dari sekarang hingga 29 Oktober 2016, menunjukkan sebuah seri patung pastel yang mempertontonkan metode unik kompresinya. Dengan menggunakan metode ilusionis halus, ia tampak mencetak relief, lekukan dan tonjolan di permukaan kertas, menghasilkan sebuah polimorfisme dengan cekung dan cembung bervariasi. Tekstur dan bentuk yang menarik terbuat dari permainan bayangan dan cahaya, menambahkan hidup dan dimensi ke palet warna yang monoton. Dengan menggunakan kain bekas berwarna-warni, tongkat dan koran, ia menyuntikkan hidup dan makna pada bahan tua.

Salah satu dari karya pentingnya yang tak bernama dibuat tahun ini adalah satu yang berberat 100 kg, sepanjang 5,7 kaki terbuat dari burlap dicat indigo. Nai tercetus dengan proses membuat karya ini ketika ia sedang berpikir apa yang harus dilakukan dengan sisa-sisa benang. Ia menyimpan benang-benang tersebut di kotak kayu, dan saat membukanya setelah beberapa bulan, ia menemukan bahwa mereka telah membentuk persegi seperti kotak terbsebut. Nai memulai membuat cetakan kayu – pertama-tama kecil, kemudian berlanjut semakin besar – dimana ia meletakkan serat bak kertas koran tua dengan air, atau rami dihaluskan dengan lem. Hasil patung tersebut memakan bulanan untuk kering, tetapi keluar dalam bentuk simpel maupun menarik.

Pada 2011, Nai mengeluarkan eksibisi lainnya yang juga bermakna penting, seri ‘The Billboards’ – sebuah eksperimen sosiologi dimana sang seniman memotret papan reklame kosong. Ini setelah resesi 2008 dimana banyak papan reklame ditinggalkan kosong tanpa iklan. Nai secara digital mengabungkan beberapa versi dari foto tersebut dan menemukan bahwa pola-pola dan bentuk-bentuk geometris menarik tidak sengaja terbentuk. Komposisi ini merepresentasikan konsep dari serendity dan ketidaksengajaan yang bahagia yang mengkarakterisasikan proses artistik eksentrik Na’il; “Saya mempercayai proses, saya hanya dapat memahami suatu benda berfungsi setelah saya memegangnya.”

Meskipun lebih dikenal sebagai pemahat, prakteknya berfokus pada menciptakan gambar-gambar dan komposisi-komposisi ilusionis. Meskipun ia memiliki control dari kerangka umum karyanya, ia memilih untuk membiarkan mediumnya berkembang organis, seperti tekanan pada benangnya berbentuk kotak.

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi www.galerie-karsten-greve.com

Cerita ini juga tersedia dalam bahasa Inggris. Baca di sini: Matter as Medium: Manish Nai 

luxuo-id-titarubi_shadow-of-surrender

Singapore Biennale 2016: Mirror Mirror

luxuo-id-titarubi_shadow-of-surrender

Biennale Singapura yang berjudul puitis ‘An Atlas of Mirrors’, akan mempertunjukkan karya-karya seni dari Asia yang memperlihatkan kedekatan ikatan tiap negara di wilayahnya, dan dalam prosesnya memperlihatkan persamaaan dan perbedaan mendasarnya. Acara ini diorganisir oleh Singapore Art Museum (SAM) dan dikomisikan oleh National Arts Council of Singapore, dan akan dilaksanakan pada 27 Oktober hingga 26 Februari 2017.

Edisi sebelumnya, ‘If The World Changed’, dilaksanakan pada 2013, berfokus pada Asia Tenggara. ‘An Atlas of Mirrors’ memperluas fokusnya ke Asia Selatan dan Timur juga; diorganisasikan oleh Direktur Kreatif Susie Lingham dan tim kuratornya dari SAM: Joyce Toh, Tan Siuli, Louis Ho, Andrea Fam dan John Tung; bersama dengan rekan kurator Suman Gopinath dari Bangalore, India; Nur Hanim Khairuddin dari Ipoh, Malaysia; Xiang Liping dari Shanghai, Cina; dan Michael Lee dari Singapura.

Kali ini, hanya ada sembilan kurator, dibandingkan dengan 27 kurator yang terlibat di edisi Singapore Biennale sebelumnya. “Untuk edisi kali ini, kami memilih untuk memiliki tim kuratorial yang lebih kecil dibandingkan dari edisi 2013 sehingga perbincangan diantara semua yang terlibat akan menjadi lebih menarik,” kurator SAM Louis Ho menjelaskan.

luxuo-id-adeela-suleman_dread-of-not-night

Adeela Suleman Dread Of Not Night

Loka karya kuratorial diperlukan untuk memastikan standar tinggi dari eksibisi yang luas ini. “Semua proposal proyek telah diumumkan untuk direnungkan – dan didebatkan – yang menjadika beberapa sesi yang hidup dan berenergi. Itu adalah bagian dari proses kreatif,” ujar kurator SAM Andrea Fam. “Sebua eksibisi yang penting adalah satu yang memancing pemikiran dan memicu debat, dan skala usaha Singapore Biennale tentu saja meliputi aspek-aspek tersebut.”

Eksibisi tersebut akan menghadirkan lebih dari 60 karya dari lebih dari 50 seniman dari 19 negara dan wilayah. Singapura adalah negara yang paling banyak terwakili, dengan 10 seniman berpartisipasi, termasuk David Chan, Fyerool Darma dan Melissa Tan. Seniman Indonesian termasuk Ade Darmawan dan Eddy Susanto. Seniman Cina Qiu Zhijie dan Ni Youyu juga berpartisipasi. Dari Filipina, ada Martha Atienza, Patricia Eustaquio dan Dex Fernandez, diantaranya. Beberapa negara diwakili oleh seorang seniman. Sri Lanka contohnya, diwakili oleh Pala Pothupitiye, sementara Bangladesh diwakili oleh Munem Wasif.

Highlight

Mayoritas dari karya seni adalah ditugaskan atau adaptasi dari karya yang sudah ada yang merespon pada tema biennale. Sebuah highlight adalah instalasi video karya seniman Brunei Faizal Hamdan yang mengeksplorasi persimpangan dari migrasi paksa di Asia Tenggara selama Perang Dunia ke-II dan masa lalu keluarganya. “Kakek dari seniman tersebut dipaksa keluar ke Brunei dari Jawa oleh tentara Jepang, dan tetap tinggal setelah masa pendudukan berakhir untuk membesarkan keluarga,” ujar Fam. “Ini adalah karya penting dari seniman dari negara yang jarang direpresentasikan di sirkuit seni kontemporer – bahkan di wilayah ini.”

Seniman lain yang karyanya untuk Biennale adalah sebuah eksplorasi dari sejarah negaranya adalah ‘Black, White, Red’ (2016) karya Nguyen Phuong Linh, sebuah instalasi multimedia yang melihat perkebunan karet colonial di Vietnam Tengah dan Selatan dan cerita-cerita yang mereka hadirkan tentang Vietnam. “Saya menginvestigasi kebun karet tersebut dan bagaimana ia bergerak ke dataran tinggi selatan dan tengah Vietnam selama kolonialisasi Perancis, dan juga bagaimana proletariat muncul dan sosialisme bertumbuh,” ujar sang seniman, yang memulai karyanya dua tahun lalu. “Perkebunan karet tersebut dan tanahnya menginspirasi ketakutan dan pesona di dalam saya, membawa janji dari kekayaan yang tak dikenal dan kesempatan untuk menemukan spirit tua.”

luxuo-id-munem-wasif_land-of-undefined-territory

Munem Wasif

Sebagian dari seniman tersebut membahas isu terkini. Seniman Malaysia Azizan Palman mempresentasikan ‘Putar Alam Café’, sebuah karya interaktif dibuat khusus untuk Singapore Biennale. Menjelaskan penamaan dari kafe tersebut, jelas senimannya, “dalam Bahasa Malaysia, ‘putar alam’ merujuk pada seorang dukun, seseorang yang suka mencurangi, menipu, membodohi dan memperdaya orang lain untuk keuntungan egoisnya sendiri.” Kafe tersebut adalah tempat dimana penonton dapat mengobrol tentang permasalahan terkait superpower negara Barat di dunia pasca kolonial setelah disensor media.

Lokasinya didandani agar terlihat seperti kafe, namun juga terdapat informasi dan gambar yang telah dipilih senimannya untuk memulai diskusi tentang apa yang terjadi di dunia saat ini, yang difasilitasi seniman tersebut. Ia menyampaikan, “Dengan mempersilakan orang-orang dari latar belakang dan kondisi berbeda untuk berdiskusi tentang berbagai isu – mulai dari politis, ekonomis, dan sosial hingga religious, budaya dan seni – saya mencoba untuk menyelenggarakan eksperimen sosial untuk menunjukkan bagaimana media, yang kemungkinan adalah ‘dukun’ terbesar dari mereka semua, dapat mempengaruhi persepsi kita akan realita dan pengertian tentang hal-hal sekitar kita.

Sementara banyak karya seni yang dibuat spesial untuk biennale, 12 dari itu adalah pinjaman, dipilih akan relevansinya terhadap tema Biennale. Dua dari karya tersebut adalah dari seniman Hmong-Laos, Phasao Lao dan Tcheu Siong. Pasangan suami-istri ini berkontribusi kepada praktek seni satu sama lain yang berbeda. “Siong membantu suaminya dengan menampilkan tugas kecil di menjahit dan komposisi; dan Lao, sebagai dukun desa, menampilkan tugas signifikan sebagai interpreter melalui interpretasinya dari makhluk dan karakter abstrak ‘disaksikan’ di mimpi Siong yang kemudian dijadikan di karya tekstil skala besar,” jelas Ho. “Bersama, duo tersebut memproduksi karya yang berbicara tentang konsep universal dari silsilah, pergerakan dan migrasi dan simbolisme dan representasi.”

Situs utama dari Biennale akan bertempat di Singapore Art Museum di Bras Basah Road dan Sam at 8Q di Queen Street. Karya seni juga akan dipampangkan di berbagai lokasi bersejarah lainnya termasuk Asian Civilisation Museum, National Museum of Singapore, The Peranakan Museum. The SMU Green dan De Suantio Gallery, SMU, yang berlokasi di dalam Civic and Cultural District, juga akan merumahi beberapa karya.

luxuo-id-map-office_desert-islands_2009_goethe-institut-hong-kong

Map Office Desert Islands, 2009

Proyek Afiliasi

Sebagai tambahan, akan ada eksibisi di Institute of Contemporary Arts (ICA) Singapore di LASALLE College of the Arts, dan juga DECK disebelahnya, sebuah tempat seni independen didedikasikan untuk seni fotografi di Singapura dan Asia Tenggara, di Prinsep Street. Ini semua adalah proyek berafiliasi dari Singapore Biennale, dan refleksi akan tema kuratorialnya.

‘The World Precedes the Eye’ di ICA Singapore didukung oleh Lee Foundation and the Cultural Matching Fund. “Eksibisi ini mendalami seniman generasi terkini yang membuat berbagai bentuk baru dari pengetahuan dan pengalaman ‘material’,” ujar kurator Bala Starr, Silke Schmickl dan Melanie Pocock. “Judul dari eksibisi ini merefleksikan arah baru ke ‘realisme baru’ – sebuah konsep yang ‘matter matters’ – dalam seni kontemporer.”

Judul eksibisi ini juga tampaknya memainkan judul dari biennale meskipun ia menangkap esensi karyanya. Cermin tersebut, tanpa mata, tidak menjalankan fungsi mencerminkan apa yang ada di depannya. Tetapi untuk benar-benar melihat dunia, sebagaimana disimbolkan di atlas, kita harus memahami and mengapresiasi bahwa ia ada jauh sebelum manusia ada, dan mungkin akan terus ada setelahnya, dan memiliki kemungkinan yang tak terjamah dari kita. Para kuratornya mencatat bahwa “karya-karya ini mengisyaratkan keberadaan dari dunia material baru yang berada di luar batasan pengetahuan saat ini” dan bahwa “pelajaran ini adalah kita berbagi dunia ini dan bukan subyek primernya – dunia tidak dikonstruksi di pikiran kita.”

Sembilan seniman akan mempresentasikan karya yang menantang apa yang kita tahu akan dunia. Hal ini termasuk sebuah set dari 16 lukisan dan karya di atas kertas dari Firenze Lai dan sebuah instalasi film 16mm oleh Pratchaya Phinthong. Shimura Nobuhiro akan menghadirkan video lainnya berjudul ‘Ternak Jepang’. Sebuah karya suara oleh Zou Zhao akan diputar selama eksibisi. Seniman lain yang mengikuti adalah Ang Song-Ming, Cheng Ran, Matt Hinkley, Nabilah Nordin dan Zeyno Pekünlü. Melengkapi ‘The World Precedes the Eye’ adalah presentasi proyek solo, ‘Black-Hut’ oleh seniman Indonesia Boedi Widjaja yang melihat akan persimpangan dari arsitektur dengan memori kolektif dan personal.

DECK akan mempresentasikan dua eksibisi oleh seniman Singapura: ‘The Natural History of an Island’ oleh Ang Song Nian. Kedua eksibisi tersebut melihat akan intervensi manusia, di tata ruang alam. Zhao memetakan secara fotografis evolusi dari tata ruang alam Singapura melalui sejarah abad 20, sementara Ang menginvestigasi dampak dari polusi udara konstan dari kebakaran hutan di Indonesia waktu belakangan.

Cerita ini juga tersedia dalam bahasa Inggris. Baca di sini: Singapore Biennale 2016: Mirror Mirror

Digital Love

luxuo-id-digital-love-falling-giraffe

ART REPUBLIK mengeksplorasi dunia pixel dari Shawn Smith.

Teks oleh Tyen Fong

Melihat dunia dalam bentuk pixel tidak mungkin akan terjadi sebelum kemunculan teknologi. Dengan pixilation, gambaran obyek nyata dapat direduksi menjadi bentuk yang belum sempurna, sehingga tampak kehilangan rincian halusnya.

Adalah seniman Amerika, Shawn Smith yang mengeksplorasi titik persimpangan antara teknologi dan realitas dalam tubuh karyanya yang terdiri dari patung kayu. Setiap patung terdiri dari potongan-potongan kecil kayu yang Smith pahat bersamaan. Pada tingkat dua dimensi, setiap karya menyerupai kolase yang terbuat dari ubin mosaik berwarna-warni. Smith memakai setiap potongan kecil sebagai komponen individual dari komposisi secara keseluruhan, lalu secara teliti menempatkan masing-masing bagian untuk membentuk satu gambaran utuh.

Lebih khusus, karya Smith menyelidiki hubungan antara alam dan dunia digital; misalnya, cara di mana kita berpotensi mengalami unsur alam melalui komputer dan layar televisi. Subyek utama untuk sebagian besar karya seninya adalah hewan.

luxuo-id-digital-love-atlas-moth-hawk-moth-falling-ostrich

Menggunakan gaya pixilation, ia membuat kerajinan patung yang mengesankan, elang, jerapah, antelop, dan lainnya. Selain hewan, ia juga terinspirasi dari bentuk-bentuk organik lain, seperti tanaman dan bagian tubuh.

Ia menyebut potongan-potongan tersebut “re- things” karena proses saat menciptakan karya. Titik tolaknya adalah gambar digital yang ia lihat secara online. Gambar online menyajikan sebuah detasemen dari realitas dengan kekurangan unsur fisik. Dalam proses artistik Smith, ia membayar pembuat foto online untuk mengembalikan ke bentuk fisik mereka.

Untuk proses pembuatannya, seniman memulai dengan selembar bahan seperti kayu lapis atau medium-density fiberboard (MDF) dan memotong strip dari berbagai ukuran panjang. Menggunakan warna yang dicampur tinta dan cat akrilik, setiap strip kayu dilukis tangan secara individual. Kulminasi strip kayu dalam berbagai panjang dan warna memberi patung kedalaman dan dimensi lebih yang ia mainkan sebelum perakitan semua potongan untuk menciptakan produk akhir. Mirip dengan cara setiap sel memainkan peran penting dalam suatu organisme, nilai karya Smith terletak pada peran masing-masing pixel dalam memainkan identitas objek.

luxuo-id-digital-love-acorn-woodpecker-falling-fox-bluebearded-hammercrest

“Saya dibesarkan di sebuah kota besar dan hanya merasakan alam melalui komputer dan layar televisi. Dengan berkarya, saya dapat membuat representasi patung tiga dimensi dari gambar alam dua dimensi yang saya temukan secara online. Saya membuat objek pixel ke pixel dengan tangan, strip kayu yang diwarnai dengan tangan juga melalui sebuah proses hingga menghasilkan tampilan licinnya dan kecepatan dunia digital,” jelas Smith.

Pria kelahiran tahun 1972 di Texas ini menghadiri Arts Magnet High School dan Brookhaven College sebelum lulus dari Washington University di St Louis, MO dengan BFA jurusan Seni Grafis pada tahun 1995. Ia menerima MFA in Sculpture dari California College of the Arts di San Francisco pada tahun 2005 dan artist-in- residencies dari Kala Art Institute di Berkeley, CA, serta CA dan Cite Internationale des Arts di Paris, Perancis. Karya-karyanya telah dipamerkan pada galeri solo dan grup di seluruh Amerika Serikat.

Dalam transposisi digitalnya ke bentuk pixilated tiga dimensi, Smith menyuling, mendistorsi, dan menghapus detail. Setiap karyanya merupakan tabrakan evolusi antara alam dan dunia digital, yang menggabungkan kekakuan matematika dan keindahan alam.