Tag Archives: Seni Rupa

Lukisan Justian Jafin Adalah Cermin Masyarakat yang Mendorong Perubahan

 

“Poetic Society”, 130x180cm, Acrylic, Decorfin Relief Paint on Linen, 2016-2018.

 

Masalah yang mengganggu masyarakat memiliki banyak lapisan jika dilihat melalui lensa yang berbeda dari pengalaman pribadi masing-masing individu. Karya-karya seniman Indonesia Justian Jafin merupakan emulasi visual dari perspektif multidimensi yang berusaha mengungkit isu-isu kemasyarakatan melalui tumpang tindih unsur-unsurnya dengan cara yang hampir mirip kolase. Dengan setiap subjek mengintip dari bawah yang dominan di atas, kita terpaksa menyaring kekacauan dan mengidentifikasi apa yang paling penting dalam setiap konflik.

Lukisan Justian Jafin Adalah Cermin Masyarakat yang Mendorong Perubahan

“Society of spectacle in the gold landscape”, Acrylic and decorfin relief paint on Canvas, 600x300cm, 2015-2016. Exhibition Manifesto 6.0 Multipolar at National Gallery of Indonesia 2018

Seperti apa seni bagi Anda di tahun-tahun awal berkarya?

Saya lahir dari orang tua seniman pada tahun 1987, jadi saya segera terlempar ke ujung kolam pepatah itu. Dari menghadiri pembukaan pameran hingga berdiskusi secara rutin dengan orang tua dan teman-teman mereka, saya dengan cepat mengenal cara-cara artistik sejak usia dini. Ini menjadi fondasi saya yang meluluskan saya melalui sekolah menengah atas di SMSR Surabaya dan kemudian, pendidikan saya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sejak saya kuliah, kedalaman pemikiran saya meningkat sebanding dengan kesadaran dan pemahaman saya tentang seni. Seniman mungkin saja memproduksi materi yang nyata untuk dijual di pasar terbuka, namun saya adalah orang yang percaya pada nilai seni untuk melampaui fisiknya dan kontribusinya sebagai wacana untuk meredakan konflik. Saya berani mengatakan bahwa saya sangat siap untuk menjadi seniman profesional seperti sekarang ini.

 

 

Apa pemikiran dan ide yang masuk ke dalam karya seni Anda?

Konsep dalam karya saya sebagian besar didasarkan pada pengalaman empiris saya atau komunitas di sekitar saya. Saya menggunakan seni sebagai media untuk mengatasi masalah umum dalam masyarakat dan memperluasnya sebagai dorongan bagi penikmat karya saya untuk mengembangkan resolusi potensial untuk masalah ini. Meskipun mungkin dihormati karena keindahan dan kemampuannya dalam menghadirkan kegembiraan dan hiburan kepada massa, saya melihat melampaui kedangkalan yang fana ini dan prospeknya sebagai wadah pendidikan dan penyebaran informasi.

Sementara estetika visual mungkin mengambil bagian belakang dari konsep-konsep dalam karya saya, saya selalu menjaga keduanya saling terkait satu sama lain, di mana gaya yang saya putuskan melengkapi ide yang saya munculkan dalam sebuah karya. Sejauh ini, gaya lukisan saya melibatkan pembuatan lapisan yang tumpang tindih yang menutupi dan menyingkap keragaman subjek dalam karya, menghasilkan komposisi yang menyerupai kolase. Dengan cara ini, publik perlu mengamati dengan saksama saat sebuah cerita terungkap di depan mata mereka, mengarahkan fokus mereka pada peran mereka dalam berkontribusi pada masyarakat dan semoga memberdayakan mereka untuk membawa perubahan.

 

 

Selain masalah sosial, bagaimana Anda memposisikan seni Anda untuk mendorong industri seni Indonesia semakin menjadi sorotan?

Seni dan tindakan berkreasi selalu menjadi bagian dari budaya Indonesia. Ketika kita memikirkan seni Indonesia, nama-nama besar seperti Raden Saleh dan Affandi muncul di pikiran, dan tempat-tempat seperti Ubud atau Batuan bahkan memiliki gaya seni yang dinamai menurut namanya. Orang-orang dari semua lapisan masyarakat dan dari jauh dan luas berkumpul di Indonesia untuk menikmati iklim artistik yang kaya, jadi kita tentu akan melihat fenomena “Boom” di mana akan ada peningkatan permintaan seni dari daerah tersebut setiap 7 hingga 10 tahun. Indonesia mengalami “Boom” ini pada tahun 2008, dan sejak itu, permintaan akan seni menurun secara perlahan di tahun-tahun setelahnya. Menurut saya, pasar seni lokal seharusnya tidak terlalu bergantung pada periode puncak ini untuk mendorong lebih banyak karya ke ruang publik. Sebaliknya, saya bermaksud menggunakan karya seni saya untuk membawa publik ke ruang kreatif untuk menunjukkan kepada mereka bahwa seni, pada kenyataannya, sepenuhnya terkait dengan cara hidup setiap orang, dan bahwa tidak boleh ada batasan di antara keduanya. Perpaduan seni dan masyarakat merupakan aspek penting untuk saling memperkuat peran keduanya. Inilah mengapa saya memilih untuk menggunakan lukisan saya untuk mengangkat topik sosial dan politik yang sulit tersingkap.

 

Apa rencana mendatang di pameran seni Anda?

Saat ini saya menggelar pameran tunggal pertama saya dengan CG Art Space dan karya saya dipamerkan di Art Jakarta pada Desember 2020. Di tahun berikutnya juga akan ada presentasi kedua di galeri yang sama, dimana penonton yang hadir akan didorong untuk menginterpretasikan dan merespon karya yang dipamerkan.

Saksikan sekilas karya seni Justian Jafin yang bermuatan sosial melalui Instagram-nya (@justianjafinw).

Info kontak:

Justian Jafin dapat dihubungi melalui Instagram dan [email protected]

CG Art Space Gallery yang menampilkan karya Justian Jafin dapat dihubungi melalui Instagram atau [email protected].

Artikel ini bersumber dari: “Justian Jafin’s Paintings Are Mirrors of Society Promoting Change”.

Lady With An Ermine oleh Leonardo Da Vinci: Dimiliki Polandia

luxuo-id-lady-with-an-ermine

Kementerian budaya Polandia diharapkan untuk membeli koleksi seni pribadi seharga dua miliar euro yang termasuk karya Leonardo da Vinci “Lady with an Ermine”. Potret abad ke-15 dari seorang wanita muda memegang ermine putih, semacam musang berekor pendek, hanyalah salah satu dari empat lukisan wanita yang dikenal dari master Renaissance, salah satunya adalah Monalisa.

Setelah mengumumkan niatnya untuk membeli koleksi tersebut pada awal bulan ini, kementerian ini merilis sebuah pernyataan yang menyatakan mereka akan “menandatangani persetujuan mengenai penyelesaian final dari status” dari karya-karya tersebut.

Saat ini dimiliki oleh Princes Czartoryski Foundation dan dirumahkan di National Museum pada kota bagian selatan adalah Krakow, koleksi ini menghitung ribuan item. Disamping da Vinci, yang diinsuransikan sebesar sekitar 350 juta euro ($365 juta), nama besar lainnya termasuk Rembrandt dan lukisan dari Renoir.

Putri Izabela Czartoryska mendirikan koleksi pada 1801 untuk mengawetkan karya Polandia dan Eropa sementara negaranya disekati oleh tetangganya Austria, Prussia, dan Rusia.

Kementerian budaya telah mengatakan bahwa mereka hendak meyakinkan bahwa koleksi tersebut tidak akan meninggalkan Polandia, yang dapat terjadi selama ia dimiliki oleh sang fondasi, yang presidennya, Prince Adam Karol Czartoryski tinggal di luar negeri.

Lukisan minyak kecil diatas kayu dipercayai untuk menggambarkan Cecilia Gallerani, kekasih remaja dari Ludovico Sforza, Duke of Milan dan salah satu pelanggan da Vinci.

Dibeli oleh keluarga Czartoryski di Italia pada 1798 dan diambil ke Polandia, lukisan tersebut dicuri oleh Jerman Nazi yang menjajah pada 1939 namun direstitusi setelah perang.

Cerita ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris. Baca disini: Lady With An Ermine by Leonardo Da Vinci: Poland to own famous painting in a private art sale

Mengingat Empat Pergerakan Seni Di 2017

Perbarui pengetahuan Anda tentang beberapa dari pergerakan seni terbesar sepanjang sejarah dengan keempat eksibisi ini di tahun 2017.

luxuo-id-rusia-avantgarde

“A Revolutionary Impulse: The Rise of the Russian Avant-Garde” – 3 Desember 2016 sampai 12 Maret 2017, di MoMA, New York, AS

MoMa sedang menarik kebangkitan dari pergerakan avant-garde Rusia, dari Perang Dunia I hingga akhir dari rencana lima-tahun pertama dari USSR (periode inter-perang). Bersamaan dengan ulang tahun ke-100 dari Revolusi Rusia, ia menampilkan proyek eksperimental pertama dari pergerakan tersebut (lukisan, gambar, pahatan, ukiran, buku, film, dan lain sebagainya.)

“Surrealism in Egypt: Art and Liberty 1938-1948” – 17 November 2017 sampai 11 Maret 2018 di Liverpool, Inggris

Ini adalah eksibisi museum komprehensif pertama tentang Art and Liberty Group (Art et Liberté -jama’at al-fann wa al-hurriyyah). Kolektif dari seniman dan penulis yang aktif berpolitik dengan tendensi surealisme ini hidup dan bekerja di Kairo pada akhir 1930an hingga akhir 1940an. “Surrealism in Egypt: Art and Liberty 1938-1948” menunjukkan bagaimana pergerakan tersebut – biasa diasosiasikan dengan seniman Eropa – melampaui batas, berkat perjalanan dan korespondensi dengan seniman seperti André Breton dan Lee Miller.

luxuo-id-preraphaelites

“Reflections: Van Eyck and the Pre-Raphaelites” – 4 Oktober 2017 sampai 2 April 2018, di The National Gallery, London, UK

The National Gallery berfokus pada lukisan “Arnolfini Portrait” oleh Van Eyck, mengeksplorasi bagaimana karya tersebut menjadi suar dari sumber gaya lukisan baru Pre-Raphaelites. Eksibisi ini menyatukan “Arnolfini Portrait” dan lukisan lainnya untuk pertama kali, mengutamakan pengaruh dari karya tersebut pada karya-karya Dante Gabriel Rossetti (1828-1882), Sir John Everett Millais (1829-1896) dan William Holman Hunt (1827-1910).

luxuo-id-australiaimpresionis

“Australia’s Impressionists” – 7 Desember 2016 sampai 26 Maret 2017, di The National Gallery, London, UK

“Australia’s Impressionists” adalah eksibisi Inggris pertama yang didekasikan untuk karya-karya impresionis Australia. Ia menampilkan pergerakan tersebut sebagai gelombang artistik unik, tentu saja terkait dengan rekan-rekan Perancis dan Inggrisnya namun tetap sepenuhnya berbeda.

luxuo-id-abudhabi2

The Creative Act: Guggenheim Abu Dhabi

luxuo-id-abudhabi2

Dengan dinantikannya penyelesaian dari bangunan yang didesain oleh Frank Gehry, Guggenheim Abu Dhabi akan mengadakan eksibisi keduanya di Manarat Al Saadiyat dari 8 Maret, 2017.

Berjudulkan ‘The Creative Act’, eksibisi tersebut akan merayakan seniman dari latar belakang dan generasi bermacam-macam, dipersatukan melalui kontribusi artistik yang berpusat di sekitar penampilan, proses, dan kehadiran manusia. Akan terdapat lebih dari 25 medium karya berbeda untuk ditampilkan dari instalasi, lukisan, fotografi, pahatan, video dan karya dalam kertas.

Sejak tahun 1960an, seniman seperti Rasheed Araeen dan Mohammed Kazem telah mengadopsi konsep ‘penampilan’. Sementara, ide dari ‘proses’ atau ‘aksi kreasi’ akan diabadikan diantara kreasi Shiraga Kazuo, Tanaka Atsuko, Niki de Saint Phalle, Günther Uecker dan Anish Kapoor.

Susan Hefuna akan mempresentasikan instalasi video, diantara berbagai karya yang mengeksplorasi tema kehadiran manusia melalui sebuah koreografi terinspirasi oleh gerakan sehari-hari. Ia juga memeriksa aksi fisik dalam proses artistik, dan bagaimana orang lain terintegrasi dalam sebuah penggambaran artistik.

luxuo-id-abudhabi

Grafit diatas kertas dan kertas kalkir. 34.3 x 41.9 cm; 59.7 x 47 cm. Guggenheim Abu Dhabi. © Susan Hefuna. Foto oleh Rhona Hoffman Gallery, Chicago. “The Creative Act” di Guggenheim Abu Dhabi

“The Creative Act” mengikuti sebuah eksibisi inaugurasi oleh Guggenheim Abu Dhabi yang bertempat pada 2014, juga di Manarat Al Saadiyat.

Sementara eksibisi kedua ini mengindikasikan bahwa karya di museum berlanjut – seorang perwakilan dari museum memberi tahu The Art Newspaper yang bekerja dalam strategi kuratorial dan koleksi tersebut “sedang berkelanjutan” – bangunan masa depan museum tersebut masih dalam perkembangan.

Didesain oleh arsitek pemenang Pritzker Prize, museum tersebut akan disituasikan pada peninsula di ujung barat laut pulau Saadiyat di sebelah Abu Dhabi. Terinspirasi dari ruang industrial studio, galeri dengan berbagai ketinggian, bentuk dan karakter akan menghadirkan koleksi seni global museum tersebut dari 1960an hingga masa kini.

https://www.guggenheim.org

Cerita ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris. Baca di sini: The Creative Act: Guggenheim Abu Dhabi 

luxuo-id-basquiat_air

Lelang Seni Bowie Sebesar $41 Juta: Sotheby’s

luxuo-id-basquiat_air

Kami tidak yakin rekor macam apa ini namun lelang David Bowie di Sotheby berhak dikenal sebagai acara penting. Acara London ini melelang koleksi seni dari legenda music tersebut, berakhir dengan penjualan sebesar hampir £33 juta ($41.5 juta). Bahkan, eksibisi dari karya-karya tersebut menarik pengunjung yang menarik rekor, ujar Sotheby’s pada Sabtu. Perkiraan dari penjualan tersebut dikatakan sekitar $13 juta.

Setiap barang dalam koleksi tersebut, yang termasuk lebih dari 130 karya seni modern dan kontemporer Inggris, terjual dalam sebuah seri penjualan seiring antusiasme pembeli akan koleksi almarhum musisi tersebut melebihi perkiraan.

Eksibisi dari karya-karya tersebut di London mengundang 51,470 pengunjung, kehadiran tertinggi dari eksibisi pra-penjualan di ibukota Inggris, ujar rumah lelang tersebut.

Lelang tersebut dikunjungi oleh 1,750 pelelang, dengan lebih dari 1,000 lelang lagi daring.

“koleksi seni pribadi David Bowie menangkap imajinasi dari dari puluhan ribu pengunjung yang mengunjungi eksibisi kami dan ribuan yang berpartisipasi dalam penjualan,” ujar Oliver Barker, ketua dari Sotheby’s Eropa.

Koleksi tersebut menawarkan “pandangan segar ke dalam pikiran kreatif dari salah seorang figur budaya terbesar dalam waktu kita,” ujarnya.

Penjualan dari karya Damien Hirst, Henry Moore dan Marcel Duchamp diantaranya bertotal £32.9 juta ($41.5 juta, 38.3 juta euro), ujar Sotheby’s.

Item terjual paling mahal dalam koleksi Bowie, kanvas terinspirasi graffiti bernamakan “Air Power” oleh Basquiat, sebesar £7.09 juta. Karya tersebut diharapkan untuk mendapatkan diantara £2.5 dan £3.5 juta.

Bowie membeli “Air Power” dan lukisan lainnya dari seniman tersebut, yang meninggal atas overdosis di 1988 dalam usia 27, tidak lama sebelum biopik pada 1996 “Basquiat”, dimana sang rocker memainkan idola awalnya Andy Warhol.

Rekor terbaru tercetak untuk lebih dari setengah jumlah seniman direpresentasikan dalam penjualan “White Glove” atas karya-karya Bowie, menurut Sotheby’s.

Frank Auerbach’s “Head of Gerda Boehm” sold for a record £3.8 million. Bowie once said of the painting: “My God, yeah! I want to sound like that looks.”

“Head of Gerda Boehm” karya Frank Auerbach terjual rekor sebesar £3.8 juta. Bowie pernah berkata tentang lukisan tersebut, “Ya Tuhan, ya! Saya ingin terdengar seperti itu terlihat.”

Bowie seperti dikutip di New York Times pada 1998 mengatakan bahwa seni, “adalah satu-satunya hal yang ingin saya punyai.”

Seorang juru bicara atas rumahnya mengatakan bahwa sang musisi “menikmati berbagi karya dalam koleksinya… mendukung karya seni dan seniman yang merupakan bagian dari dunianya.”

Cerita ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris. Baca disini: Bowie Art Auction Nets $41 Million: Sotheby’s 

luxuo-id-031016-shchukin

Ikon Seni Modern: Koleksi Shchukin Mengunjungi Paris

luxuo-id-031016-shchukin

Koleksi Shchukin

Fondation Louis Vuitton di Paris akan mengadakan eksibisi yang memamerkan karya-karya dari koleksi Sergei Shchukin, sebagai bagian dari Perancis-Rusia Tahun Turisme Budaya. “Icons of Modern Art. The Shchuckin Collection” akan dimulai dari  22 Oktober 2016 sampai 20 Februari 2017, di Fondation Louis Vuitton di Paris, Perancis.

Shchukin adalah pendukung dan kolektor seni Perancis terkenal di awal abad ke-20. Pebisnis Rusia ini mulai berhubungan dengan pedagang benda seni tahun 1898, berawal dari Paul Durand-Ruel dan Ambroise Vollard, kemudian Berthe Weill, Eugène Druet, Clovis Sagot, Georges Bernheim serta Daniel Henry-Kahnweiler. Selera dan perolehan Shchukin juga dipengaruhi oleh hubungannya dengan seniman-seniman terkenal Henri Matisse dan Picasso. Di dalam eksibisinya, 130 karya dari para master Impressionist, Post-Impressionist dan Seni Modern akan terpampang, kesemuanya adalah dari koleksi Shchulkin. Termasuk juga ditampilkan karya-karya Monet, Cézanne, Gauguin, Rousseau, Derain, Matisse dan Picasso, juga Degas, Renoir, Toulouse-Lautrec serta Van Gogh.

Pameran ini akan mengeksplorasi pengaruh dari koleksi Shchulkin dalam perkembangan Cubo-Futurism, Suprematism and Constructivism. 30 karya tersebut bervariasi dari lukisan, kolase kertas, konstruksi, reliefs dan dua ukiran, termasuk item-item dari nama besar seni Rusia, seperti Malevich, Rodchenko, Larionov, Tatline, Popova dan Rozanova.

luxuo-id-031016-cezane

Paul Cézanne, “Man Smoking a Pipe,” 1890-1892.
© Courtesy Musée d’Etat des Beaux-Arts Pouchkine, Moscou
ICÔNES DE L’ART MODERNE. LA COLLECTION CHTCHOUKINE

Tahun Turisme Budaya Perancis-Rusia diluncurkan pada 4 April 2016. Mereka bertujuan untuk meningkatkan pertukaran pengunjung dari dua negara tersebut, mempromosikan potensi turisme dari wilayah yang kurang dikunjungi oleh publik dan terutama tentang warisan budayanya.

Eksibisi Fondation Louis Vuitton akan disertai oleh sekumpulan event, termasuk penampilan tari dan musik, yang mengedepankan dialog artistik antara Perancis dan Rusia diawal abad ke-20.

Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di www.fondationlouisvuitton.fr/

luxuo-id-031016-monet

Claude Monet, “Luncheon on the Grass,” 1866.
© Courtesy Musée d’Etat des Beaux-Arts Pouchkine, Moscou
ICÔNES DE L’ART MODERNE. LA COLLECTION CHTCHOUKINE

Cerita ini juga tersedia dalam bahasa Inggris. Baca di sini: Modern Art Icons: Shchukin Collection Visits Paris 

 

LUXUO ID MACAN Gambaran Cerah Dunia Seni Indonesia Art Stage Jakarta

MACAN, Gambaran Cerah Dunia Seni Indonesia

LUXUO ID MACAN Gambaran Cerah Dunia Seni Indonesia Art Stage Jakarta

Dari Jakarta hingga Bali dan Yogyakarta, dunia seni rupa Indonesia semakin berkembang. Didukung oleh makmurnya kelas menengah serta minat yang tinggi dari pembeli internasional, banyak galeri butik dan seniman bermunculan. Acara tahunan seperti Jakarta Biennale, ArtJog, Bazaar Art Jakarta dan kini Art Stage Jakarta 2016 juga terus memompa minat kolektor.

Tapi kritikus memperingatkan ketiadaan pendanaan dari pemerintah dan kurangnya museum seni berkualitas tinggi, membuat banyak masyarakat tak memperhatikan dunia seni Indonesia.

Seorang pengusaha, Haryanto Adikoesoemo, bertekad untuk mengubah hal itu. Ia akan membuka Museum of Modern Museum of Modern and Contemporary Art Nusantara di tahun depan.

“Dunia seni Indonesia saat ini adalah salah satu yang terbesar dan terbaik di Asia Tenggara, tapi kami merasa kurang mendapat sokongan institusional dalam hal ini,” kata Haryanto dalam wawancara dengan AFP.

Dia menambahkan bahwa Indonesia adalah rumah bagi industri seni yang sangat “hidup”, dia merasa kekurangan “museum seni berkualitas tinggi, yang terbuka untuk umum”.

Thomas Berghuis, mantan kurator seni Cina di Guggenheim Museum, New York, telah ditunjuk sebagai direktur MACAN, dan pameran pertama museum ini akan menampilkan kurang lebih 800 karya seniman asal Indonesia, Asia dan barat. Semua karya tersebut merupakan koleksi pirbadi Haryanto.

Sudah satu dekade sejak Haryanto pertama kali berpikir untuk menggunakan koleksi pribadinya dalam rangka membantu menciptakan sebuah museum seni kelas dunia, yang terbuka untuk umum. Dia dia merasa sekarang adalah waktu untuk membuka ruang seperti ini di Indonesia. Ketika berbicara soal seni, ia percaya “semakin banyak orang di seluruh dunia yang sedang memperhatikan Asia Tenggara.”

Museum sebesar 4.000 meter persegi ini akan memiliki taman patung dalam ruangan dan zona khusus pendidikan. Rencana tata letak ini adalah bagian dari pembangunan yang lebih besar di Jakarta. Museum yang masih dibangun ini juga mencakup restoran, kafe, kantor dan tempat tinggal.

Koleksi Haryanto yang dikumpulkan selama lebih dari seperempat abad, termasuk karya-karya S. Sudjojono, yang dianggap sebagai bapak modernisme Indonesia dan pelukis ekspresionis Affandi. Juga beberapa karya oleh seniman Barat kenamaan seperti Andy Warhol, Frank Stella, Jeff Koons, dan Gerhard Richter.

Pecinta Seni

Haryanto sebagai pendonor dana utama MACAN, juga menginginkan museum ini menjadi ruang subur bagi para seniman untuk memamerkan karya mereka. Dia juga berharap untuk menjalin kolaborasi dengan galeri di luar negeri.

“Kami ingin menciptakan sebuah panggung pertukaran budaya-seni Indonesia untuk dibawa ke dunia, dan seni dunia dibawa ke Indonesia,” kata kepala perusahaan logistik AKR Corporindo tersebut.

Pembukaan MACAN yang tentunya sudah dinanti-nanti, karena di Indonesia tak banyak koleksi pribadi yang dipamerkan untuk publik. Museum-museum yang sudah ada biasanya biasa saja, dan lembaga-lembaga yang dikelola pemerintah sebagian besar memiliki standar yang rendah.

Heri Pemad selaku koordinator ArtJog mengatakan museum tersebut adalah jawaban yang ditunggu para pecinta seni kontemporer.

“Saat ini kancah museum di Indonesia kondisinya sangat menyedihkan. Selera publik akan seni berkembang lebih cepat dari museum, di mana waktu tampaknya berhenti sama sekali,” ujar Heri.

Berghuis juga berharap MACAN dapat mendorong profesional muda tertarik untuk berkarir di bidang seni dengan menawarkan peluang dalam bidang-bidang seperti manajemen pameran, seni kurasi dan konservasi, serta urusan hukum.

“Visi kami adalah untuk bagian dari yang membantu menumbuhkan iklim seni yang sehat di Indonesia,” ujar Berghuis. Pembukaan museum ini bertepatan dengan perkembangan pesat kancah seni Asia Tenggara.

Singapura yang meluncurkan minggu seni tahunan di tahun 2013, tahun lalu juga membuka National Gallery bernilai $376 juta yang menampilkan koleksi pada publik koleksi dunia seni modern terbesar di Asia Tenggara. Museum ini rumah bagi lebih dari 8.000 karya dari abad ke-19 dan ke-20.

Pagelaran terpopuler di Singapura, Art Stage, menggelar acara perdananya di Jakarta pada Agustus 5 hingga 7 lalu, menampilkan berbagai karya seni kontemporer dari 50 lebih galeri. Haryanto berharap MACAN dapat meningkatkan posisi wilayah Asia Tenggara sebagai pusat seni, dan membawa kesegaran bagi lanskap budaya Indonesia.

“Saya percaya bahwa dengan menghargai dan memahami seni kita dapat meningkatkan kualitas hidup kita,” tutup Haryanto menambahkan.

Digital Love

luxuo-id-digital-love-falling-giraffe

ART REPUBLIK mengeksplorasi dunia pixel dari Shawn Smith.

Teks oleh Tyen Fong

Melihat dunia dalam bentuk pixel tidak mungkin akan terjadi sebelum kemunculan teknologi. Dengan pixilation, gambaran obyek nyata dapat direduksi menjadi bentuk yang belum sempurna, sehingga tampak kehilangan rincian halusnya.

Adalah seniman Amerika, Shawn Smith yang mengeksplorasi titik persimpangan antara teknologi dan realitas dalam tubuh karyanya yang terdiri dari patung kayu. Setiap patung terdiri dari potongan-potongan kecil kayu yang Smith pahat bersamaan. Pada tingkat dua dimensi, setiap karya menyerupai kolase yang terbuat dari ubin mosaik berwarna-warni. Smith memakai setiap potongan kecil sebagai komponen individual dari komposisi secara keseluruhan, lalu secara teliti menempatkan masing-masing bagian untuk membentuk satu gambaran utuh.

Lebih khusus, karya Smith menyelidiki hubungan antara alam dan dunia digital; misalnya, cara di mana kita berpotensi mengalami unsur alam melalui komputer dan layar televisi. Subyek utama untuk sebagian besar karya seninya adalah hewan.

luxuo-id-digital-love-atlas-moth-hawk-moth-falling-ostrich

Menggunakan gaya pixilation, ia membuat kerajinan patung yang mengesankan, elang, jerapah, antelop, dan lainnya. Selain hewan, ia juga terinspirasi dari bentuk-bentuk organik lain, seperti tanaman dan bagian tubuh.

Ia menyebut potongan-potongan tersebut “re- things” karena proses saat menciptakan karya. Titik tolaknya adalah gambar digital yang ia lihat secara online. Gambar online menyajikan sebuah detasemen dari realitas dengan kekurangan unsur fisik. Dalam proses artistik Smith, ia membayar pembuat foto online untuk mengembalikan ke bentuk fisik mereka.

Untuk proses pembuatannya, seniman memulai dengan selembar bahan seperti kayu lapis atau medium-density fiberboard (MDF) dan memotong strip dari berbagai ukuran panjang. Menggunakan warna yang dicampur tinta dan cat akrilik, setiap strip kayu dilukis tangan secara individual. Kulminasi strip kayu dalam berbagai panjang dan warna memberi patung kedalaman dan dimensi lebih yang ia mainkan sebelum perakitan semua potongan untuk menciptakan produk akhir. Mirip dengan cara setiap sel memainkan peran penting dalam suatu organisme, nilai karya Smith terletak pada peran masing-masing pixel dalam memainkan identitas objek.

luxuo-id-digital-love-acorn-woodpecker-falling-fox-bluebearded-hammercrest

“Saya dibesarkan di sebuah kota besar dan hanya merasakan alam melalui komputer dan layar televisi. Dengan berkarya, saya dapat membuat representasi patung tiga dimensi dari gambar alam dua dimensi yang saya temukan secara online. Saya membuat objek pixel ke pixel dengan tangan, strip kayu yang diwarnai dengan tangan juga melalui sebuah proses hingga menghasilkan tampilan licinnya dan kecepatan dunia digital,” jelas Smith.

Pria kelahiran tahun 1972 di Texas ini menghadiri Arts Magnet High School dan Brookhaven College sebelum lulus dari Washington University di St Louis, MO dengan BFA jurusan Seni Grafis pada tahun 1995. Ia menerima MFA in Sculpture dari California College of the Arts di San Francisco pada tahun 2005 dan artist-in- residencies dari Kala Art Institute di Berkeley, CA, serta CA dan Cite Internationale des Arts di Paris, Perancis. Karya-karyanya telah dipamerkan pada galeri solo dan grup di seluruh Amerika Serikat.

Dalam transposisi digitalnya ke bentuk pixilated tiga dimensi, Smith menyuling, mendistorsi, dan menghapus detail. Setiap karyanya merupakan tabrakan evolusi antara alam dan dunia digital, yang menggabungkan kekakuan matematika dan keindahan alam.

The Imaginarium of Ostenrik

luxuo-id-theimaginarium-2-voitures

Teguh Ostenrik bisa dibilang merupakan sosok yang mewakili sebuah anomali dalam kancah seni di Indonesia. Sebagai seorang seniman, 
ia melakukan hal-hal “gila” yang tak pernah terpikirkan sebelumnya 
di benak orang lain. Meskipun berjiwa pemberontak yang menentang kemapanan, ia terlebih dahulu menguasai dasar-dasar konvensional sebelum beranjak ke level berikutnya, dengan memadukan, menciptakan serta mentransformasikan bentuk dan teknik baru ke dalam sebuah bahasa yang, kini, sepenuhnya miliknya.

Karakternya yang unik, disertai pengalaman dan perspektif
tradisional sekaligus global, telah memuluskan jalannya dalam memandang manusia. Filsuf Toeti N. Roosseno dan Franz Magnis-Suseno mendeskripsikan dirinya sebagai seorang pengembara dalam metafisika yang membuka ruang dan alam kebebasan baru — sebuah gambaran yang sempurna untuk Teguh Ostenrik dan karya-karyanya selama empat dekade terakhir.

luxuo-id-theimaginarium-2-bulan-berbunga

Bulan Berbunga, 2014 oleh Teguh Ostenrik

Lahir di Jakarta pada tahun 1950, ia meninggalkan pendidikan medis yang telah berjalan selama dua tahun di Universitas Trisakti, Jakarta.
Kala itu, ia baru berusia 20 tahun. Profesor di kampus menanggapi keinginannya menjadi seorang seniman dengan cemoohan, “Kamu akan menjadi seniman yang hebat”. Ironisnya, sindiran ini menjadi kenyataan.

Ostenrik memilih untuk pergi ke Jerman dan mempelajari seni, karena terkesan oleh sebuah lukisan karya Matthias Grünewald yang ia lihat di Goethe-Institut Jakarta. Grünewald (sekitar 1470 – 31 Agustus 1528) adalah pelukis Renaissance asal Jerman dengan karya-karya religius yang mengabaikan klasisisme Renaissance demi melanjutkan gaya ekspresif dan intens dari kesenian Eropa Tengah di akhir abad pertengahan. Di Jerman, Ostenrik harus bekerja secara serabutan demi memperoleh penghasilan dan masuk ke sekolah seni. Setelah dua tahun, tepatnya pada tahun 1972, ia telah mengumpulkan uang yang cukup untuk mendaftar ke jurusan desain grafis di sebuah universitas. Pada tahun 1974, ia pindah ke Hochschule der Kunst Berlin dan, enam tahun kemudian, menerima gelar ‘Meisterschuler’.

luxuo-id-theimaginarium-artificial-reefparkprojet-domussepiae

ARTificial Reef Park Projet : Domus Sepiae, 2014 oleh Teguh Ostenrik

Saat Ostenrik kembali ke Indonesia pada tahun 1988, setelah menetap selama 16 tahun di Berlin, ia membawa sudut pandang baru terhadap seni, yang ia bagikan melalui banyak karya dan pameran. Akan tetapi, ia tampaknya masih berada terlalu jauh di depan untuk dunia seni Indonesia pada masa itu. Kala mereka masih terjebak dalam isu-isu identitas nasional, Teguh Ostenrik telah melaju ke depan dan menciptakan berbagai kreasi yang dapat disejajarkan dengan karya-karya
yang dibawakan oleh kurator Okwui Enwezor untuk pameran internasional seperti Documenta dan Venice Biennale.

Mengadopsi kebudayaan dunia dari masa lampau dan 
masa kini, Ostenrik menciptakan karya serial berjudul ‘Homo Sapiens’ pada akhir tahun 1980-an. Selain menggunakan warna Mother Earth bernuansa oker dan merah sebagai representasi khas zaman kuno, karya ini juga menampilkan sentuhan masyarakat Maya di Meksiko, dengan kesakralan dan unsur mistik yang mungkin memiliki banyak kesamaan dengan suku Toraja di Sulawesi Selatan dan Asmat di Papua. Sementara itu, karakteristik naratifnya membuka batasan antarbudaya dengan mengombinasikan cara bercerita gaya lama dari Barat, yang disebut Muritat, dengan kesenian asal Jawa yang nyaris punah, yakni Wayang Beber.

‘Homo Sapiens Bertopeng’, karya serial yang merupakan sebuah momentum penting dalam perjalanan artistiknya, dirancang berdasarkan observasi Ostenrik di Berlin U-Bahn. Di situ, ia memiliki banyak kesempatan untuk mengamati perubahan ekspresi wajah para penumpang kereta pada waktu yang bervariasi dalam sehari. “Di dalam U-Bahn, orang-orang duduk berhadapan satu sama lain,” ia menjelaskan. “Ekspresi wajah saat pagi hari berbeda dengan di sore hari. Seperti berganti topeng yang seakan-akan telah menjadi sebuah karakteristik alami, namun sesungguhnya menyembunyikan realitas jiwa mereka.”

luxuo-id-theimaginarium-2-komposisi-kuningi

Komposisi Kuning I (Yellow Composition I), 1985 oleh Teguh Ostenrik

luxuo-id-theimaginarium-2-voitures

Voitures oleh Teguh Ostenrik

Ostenrik menarik banyak perhatian – meski tak banyak yang positif – saat ia menghadirkan inovasi melalui instalasi ‘Alam Bawah Air’ yang mengundang publik untuk, secara fisik, masuk dan mendapatkan pengalaman seni. Kali ini, ia menciptakan sebuah ruang gelap, dengan satu- satunya cahaya berasal dari lukisan-lukisan kreasinya yang menggambarkan gerombolan ikan serta makhluk bawah air lainnya. Instalasi ini merupakan simulasi dari pengalamannya menyelam di Lombok. Ketika para pengunjung meraba-raba untuk mencari jalan dalam kegelapan, mereka seolah-olah sedang berenang di laut dalam sembari menikmati keajaiban alam.

‘Alam Bawah Air’ diikuti oleh instalasi kedua yang menampilkan sebuah kanvas berukuran 9 m x 1.89 m di ruang gelap. Di sini, banyak pengunjung dikejutkan oleh topeng-topeng bercat di atas kanvas yang tampak seperti hidup. Beberapa di antaranya bahkan memperoleh dorongan dari kilas pengakuan diri di tengah sensasi prasejarah dan kekuatan kosmis. Duta Besar Italia waktu itu terkesan dan mengatakan: “Ini bisa jadi merupakan sebuah versi cetak dari karya seni Kristen, ‘The Last Judgment’. [Karya] ini bisa saja digantung di sebuah gereja.” Seorang wanita Jerman menuturkan, “Saya ingin berbaring sendirian di atas bantal dan memandanginya sambil tenggelam dalam musik, cahaya dan kegelapan.”

Banyak orang yang mencela dan menganggap instalasi ini hanyalah sebuah aksi publikasi. Namun mereka tidak menyadari bahwa karya ini adalah awal dari sebuah genre baru dalam seni kontemporer Indonesia. Sebelumnya, dunia seni Indonesia belum pernah menyaksikan perpaduan interdisipliner dalam satu karya seni, seperti lukisan yang didukung oleh seni patung, musik dan pertunjukan.

Pencarian konstan Ostenrik akan kebenaran dan keadilan menjadikannya seorang pemberontak intelektual. Bentuk figuratif bergaya arkais yang ia gunakan dalam ‘Homo Sapiens Bertopeng’, misalnya, merupakan tahap paling awal dari pemberontakan sang seniman untuk menentang ajaran anatomi. Walau demikian, pemberontakannya selalu didasari oleh pengetahuan dan penguasaan teguh terhadap hal-hal yang ia anggap esensial dalam berkreasi. ‘Homo Sapiens’, simbol dari jiwa manusia, telah menjadi cahaya penuntun yang mengiluminasi semua karyanya. Seperti yang dinyatakan oleh Franz Magnis-Suseno sekitar 40 tahun silam, Ostenrik memperjuangkan hal-hal yang nyata dan benar.

luxuo-id-theimaginarium-2-genggamansulingkuning

Genggaman Suling Kuning, 1980 oleh Teguh Ostenrik

Ketika ia memperkenalkan seni dari potongan logam bekas, misalnya, seorang pemilik galeri menyarankan agar ia menambahkan cat pada patung-patungnya. “Ini tentunya akan menarik pembeli,” ujarnya untuk meyakinkan sang seniman. Ostenrik tidak menyukai ide tersebut dan, saatitu juga, mengatakan kepada pemilik galeri untuk melupakannya. Kemudian ia menyelenggarakan acaranya di Gedung Arsip Nasional dengan tajuk ‘deFACEment’. Di tengah bisnis seni berorientasi pasar, ia dengan mutlak menyatakan: “Saya tidak membuat karya seni untuk hidup, tetapi saya hidup untuk membuat karya seni.” Pada akhirnya, karya- karya Ostenrik memikat imajinasi para kolektor yang memahami bahwa keindahan tidak hanya ada pada sesuatu yang halus dan berkilau, melainkan terdapat pada makna kehidupan yang diungkapkan dalam berbagai manifestasi yang berbeda.

Limbah logam biasanya dibuang karena dianggap tak bernilai. Namun Ostenrik memberikan “hidup baru” dengan memanfaatkannya sebagai material untuk seni patungnya yang ekspresif, dan karena itu, ia pun berkontribusi dalam solusi bagi masalah lingkungan hidup. Proyek lain yang hampir serupa adalah ‘Plastic Waste Pyramid’. Ia membangunnya di Munduk, Bali, dengan bata yang terbuat dari kantong plastik yang dicairkan. Melalui pemberian fungsi dan identitas baru terhadap kantong plastik, struktur karya ini turut menyimbolkan kesadaran ekologi yang berkembang di kalangan masyarakat Munduk dan sekitarnya.

Jika ‘Homo Sapiens’ adalah momentum kritis dalam perjalanan artistiknya, ‘deFACEment’ melambangkan hubungan berkelanjutan Ostenrik dengan Homo sapiens. Ia menyatukan potongan- potongan logam melalui pengelasan, dan mentransformasikannya menjadi seni patung yang mengekspresikan kehidupan manusia ketika berevolusi dalam berbagai situasi. Pada pandangan pertama, mereka yang terbiasa dengan seni patung klasik dan konvensional cenderung terkejut. Namun setelah menginvestigasi lebih dekat, mereka mulai menyadari bahwa ini adalah awal dari sebuah genre lain dalam seni kontemporer di Indonesia.

Banyak penemuan lain dari Ostenrik, meliputi seni patung perunggu yang terbuat dari lempengan, sehingga memberikan impresi figur atau makhluk perunggu yang baru saja ditarik keluar dari tanah. Saat ia mengembarai dunia dan memetik pengaruh dari para master ekspresionisme abstrak dan atmosfer negara-negara yang ia kunjungi, ia juga bereksperimen dengan lukisan, patung, instalasi seni, video dan beragam bentuk seni lainnya, serta memadukan, mentransformasikan dan menciptakan sesuatu yang baru, selagi tenggelam dalam dirinya sendiri dan budaya-budaya di dunia. Pada akhirnya, ia telah memperoleh sebuah gaya yang sepenuhnya miliknya. Namun, selama ini, dalam menggeluti hasrat artistiknya, ia tidak pernah kehilangan pandangan akan cahaya penuntunnya: Homo sapiens, alias dimensi manusia.

luxuo-id-theimaginarium-2-artificialreef-parkprojet-domussepiae-1

Tampilan instalasi, ARTificial Reef Park Projet : Domus Sepiae, 2014 oleh Teguh Ostenrik

luxuo-id-theimaginarium-2-artificialreef-parkprojet-domussepiae-2

Awal tahun 2015, Teguh Ostenrik memulai sebuah proyek yang menyuarakan keprihatinan terhadap alam dan kondisi manusia. Melalui kombinasi potongan logam dan teknologi elektronik yang disebut Biorock, ia menciptakan sebuah instalasi berjudul ‘Domus Sepiae’, untuk mendukung revitalisasi terumbu karang yang berada di ambang kepunahan. Proyek ini dikenal pula dengan nama ARTificial Reef Park. Indonesia memang dikenal memiliki keanekaragaman hayati terumbu karang yang terbesar di dunia. Namun, kini hanya sejumlah enam persen yang masih dalam kondisi murni. Sisanya telah hancur atau rusak akibat pemancingan berlebihan dan menggunakan dinamit, polusi, serta faktor-faktor lain. Ketika diundang ke Qunci Villas di Lombok, Ostenrik mengajukan usul untuk meneliti kemungkinan dilakukannya revitalisasi terumbu karang di sekitar Pantai Senggigi melalui seni. “Daripada hanya membuat karya untuk mendekorasi dinding, saya ingin karya seni saya membantu pemulihan batu-batu karang yang merupakan habitat ikan-ikan serta banyak spesies lainnya, dan mata pencaharian masyarakat pun bergantung kepada mereka,” ujarnya.

Dengan menciptakan seni patung logam “elektrik” melalui proses ilmiah nan revolusioner, yang mengubah mineral yang larut dalam air laut menjadi Biorock atau Seament, Ostenrik ingin menghidupkan kembali terumbu karang yang rusak di sekitar Senggigi, dan mengembalikan sebuah dunia menakjubkan. Kenangan akan dunia tersebut telah ia jaga melalui instalasi ‘Alam Bawah Air’ yang ia buat di awal tahun 90-an. Pada masa-masa itu, ia sering menyelam di sana. Namun saat kembali ke lokasi itu setelah absen selama beberapa tahun, ia menemukan bahwa dunia yang ada dalam ingatannya kini telah menjadi sebuah gurun tandus.

‘Domus Sepiae’, bagian dari ARTificial Reef Park, adalah struktur yang menyerupai labirin dan tampak seperti mendorong tentakelnya di bawah massa air. Penampilannya yang terlihat ringan sepenuhnya bersifat menipu, karena setiap 16 modul dari pelat besi setebal enam milimeter, yang berukuran 130 x 140 sentimeter, memiliki berat 200 kilogram. “Saya membuat lubang-lubang pada pelat tebal sebagai bentuk pertahanan terhadap arus kencang dan memungkinkan ikan untuk bermain-main atau bersembunyi dari predator,” ujar Ostenrik. “Tiang-tiangnya pun terhubung satu sama lain supaya mampu berdiri kokoh. Biorock yang dialiri arus listrik melajukan pertumbuhan terumbu karang enam kali lebih cepat daripada pertumbuhan normal.”

Proyek yang diluncurkan pada bulan Mei 2014 ini merupakan hasil kolaborasi dengan Lombok Hotel Association (LHA) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, serta didukung oleh Gili Eco Trust dan P.T. Contained Energy. Saat ini terletak kurang lebih di sekitar pertengahan Pantai Senggigi, dan rencananya akan diperluas hingga mencakupi keseluruhan panjang pantai. “Saya tidak membuat karya seni untuk hidup, tapi saya hidup untuk membuat karya seni”. — Teguh Ostenrik

Teguh Ostenrik, yang secara pribadi mengumpulkan 1.6 ton potongan logam untuk membuat karya seni patung, mengatakan bahwa ia ingin mendorong seniman- seniman lain untuk mengikuti langkahnya, karena terumbu karang sangat membutuhkan revitalisasi. Ia memimpikan sebuah galeri seni patung di bawah air yang tidak hanya mendatangkan kembali ikan, cumi-cumi dan lobster yang melimpah, tetapi juga menjadi atraksi utama untuk wisatawan serta menghasilkan pendapatan bagi masyarakat Lombok. Kini, ikan-ikan telah muncul di tengah karang-karang yang tumbuh pada karya seni patungnya, dan aktivitas memancing serta sumber pendapatan lain di sekitar Senggigi dapat menikmati buah dari prakarsa seni tersebut. Namun, Ostenrik mengingatkan kita bahwa masih banyak yang perlu dilakukan. Terumbu karang adalah penjaga ekosistem, dan 120 juta orang bergantung kepada terumbu karang sebagai mata pencaharian mereka (jumlah ini mendekati setengah dari total populasi di Indonesia). Dan, pencarian tanpa akhir pun terus berlanjut…

 

Artikel ini pernah dipublikasikan di ART REPUBLIK Indonesia.
Teks oleh Carla Bianpoen.